Penulis: Ade Fadli
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada tanggal 2 Mei setiap
tahunnya telah menjadi momentum untuk memperingatkan segenap negeri akan
pentingnya arti pendidikan bagi anak negeri yang sangat kaya ini. Di
tahun 2003, telah dilahirkan pula Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional melalui UU No. 20 tahun 2003 yang menggantikan UU
No. 2 tahun 1989. Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan
pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal
31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan
pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No.
20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap
warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan
sepanjang hayat.
Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di
dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak
keterlibatan pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai
hal yang tidak dianggap penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 8
UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan.
Peran serta masyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah, dimana proses pembentukan komite sekolahpun belum
keseluruhannya dilakukan dengan proses yang terbuka dan partisipatif.
Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun
hingga saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu
banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu,
layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih
hanya di dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar
gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD
hingga saat ini masih dibawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat 4 UUD
1945 dan pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar
diantara 2-5%.
Bila melihat peristiwa yang belum lama terjadi di Indonesia, misalnya
kasus tukar guling SMP Negeri 56 Jakarta serta kasus Kampar adalah
sebongkah cerminan dari kondisi pendidikan di Indonesia, dimana kalangan
pendidik dan kepentingan pendidikan masihlah sangat jauh dari sebuah
kepentingan dan kebutuhan bersama, dimana pendidikan masih menjadi
korban dari penguasa.
Sementara di berbagai daerah, pendidikan pun masih berada dalam
kondisi keprihatinan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas
pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena
permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah,
anak-anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah harus membantu
keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin sukarnya akses
masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.
Belum lagi bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang
hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya
serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem
pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat peserta didik menjadi
pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan
pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan
masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan
industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia.
Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini
masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang
dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga
secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan
peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya
industrialisasi yang berlangsung saat ini.
Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi
sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini
mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah
hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan
pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya
bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang
tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang
telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin,
pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk
membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang
sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa
haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah
bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta
pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri
ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya
manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia
tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di
Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap
lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong
terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan
harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan
sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak
meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia.
Hari Pendidikan Nasional tahun ini di tengah-tengah pertarungan
politik Indonesia sudah selayaknya menjadi sebuah tonggak bagi
bangkitnya bangsa Indonesia dari keterpurukan serta lepasnya Indonesia
dari ?penjajahan?? bangsa asing. Sudah saatnya Indonesia berdiri di atas
kaki sendiri dengan sebuah kesejahteraan sejati bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
Sumber: http://www.timpakul.web.id
Minggu, 22 April 2012
Usaha Sistematis untuk Mendistorsi Sejarah
Agus Sunyoto: Ada Usaha Sistematis Untuk Menghilangkkan Walisongo
Posted by Rahman Masiga
Perjuangan Walisongo
merupakan fakta sejarah dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya
pulau Jawa. Keberhasilannya yang gemilang tak lepas dari strategi mereka
melalui jalur kultural. Tak ada pertumpahan darah dan inkuisisi.Karena itulah perjuangannya selalu dikenang. Makamnya selalu diziarahi oleh segenap muslim. Tapi perjuangan sembilan ulama tersebut, dianggap sepi oleh sekelompok orang. Hal itu terbukti dengan absennya Walisongo dari Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Agus Sunyoto sebagai salah seorang sejarawan Nusantara merasa kuatir dengan kondisi ini. Menurutnya, lambat-laun sejarah Walisongo bisa hilang dari ingatan orang, atau bisa jadi dianggap dongeng belaka.
Kekuatiran Wakil Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi-NU) ini membuahkan buku berjudul “Walisongo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan” setebal 282 halaman.
Ketika Agus Sunyoto berkunjung ke kantor PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Rabu, (15/2) Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarainya seputar penulisan buku itu. Berikut petikannya.
Belum lama ini mas Agus menulis buku Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Apa tujuan menulis buku itu?
Awalnya ketika saya membaca buku Ensiklopedi Islam terbitan Van Hoeve itu. Ternyata entri Walisongo tidak ada. Demak itu hanya disinggung dua. Kesultanan Demak dan masjid Demak. Itu pun singkat sekali. Yang muncul malah tiga serangkai Wahabi yang membawa faham Wahabi ke Indonesia. Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piabang sebagai pembawa ajaran Islam.
Reputasi orang itu dalam sejarah perjuangan menyebarkan Islam itu bagaimana?
Yang menimbulkan pecahnya Perang Paderi. Reputasi apa? Orang yang berbeda pandangan dipateni (dibunuh, red).
Kalau kita baca Ensiklopedi Islam itu, secara tidak langsung, kita diarahkan untuk menganggap bahwa Islam yang disebarkan Nusantara itu oleh Wahabi. Begitu, ya?
Iya. Dan itu yang dimasukkan. Itu kan golongan Sumatera Tawalib. Orang sana itu, madrasah-madrasah Wahabi itu, Persis itu masuk, al-Irsyad itu masuk. Resulusi Jihad itu nggak ada. Komite Hijaznya NU itu nggak ada.
Efeknya bagi masyarakat itu apa, Pak?
Ya lambat-laun Walisongo dianggap nggak pernah ada. Islam yang ada sekarang itu dianggap ahistori.
Indikasi apa itu mas?
Kita tinggal menunggu dua puluh tahun lagi. Kalau Walisongo itu sudah tidak ditulis di ensiklopedi, dua puluh tahun lagi, sudah jelas dianggap dongeng. Tidak ada kenyataannya. Tidak diakui. Eksistensinya tidak diakui.
Itu memang sistematis?
Iya sistematis. Ada usaha sistematis untuk menghilangkkan Walisongo.
Tujuan mereka itu apa?
Ya, mereka kan menganggap Walisongo itu tidak sefaham dengan mereka dan mereka membikin seolah-olah yang membawa (Islam) ke sini adalah Wahabi. Tapi itu artinya Islam baru berkembang 1803. Sebelum itu, nggak ada Islam berarti. Itu pemalsuan sejarah. Pemalsuan sejarah yang tidak cerdas!
Apa karena tipikal Walisongo yang menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya? Dan itu bersebrangan dengan faham mereka?
Iya. Mereka kan kalau perlu, semua yang bersebrangan faham dengan mereka kan dibunuh saja. Bahwa faham merekalah yang benar. Karena mereka menghalalkan segala cara. Kalau bukan golongan mereka, ya disingkirkan. Sayangnya mereka minoritas.
Dalam sejarah, Islam yang diterima di masyarakat itu selalu pendekatan budaya. Tidak cuma Walisongo. Di Sumatera ada tokoh Aria Damar. Dia kan asalnya penganut Shiwa Budha. Dakwah Islam di Palembang dan sekitarnya itu, ketika yang dakwah itu orang yang dari Arab Said Syarif Hidayatullah itu, itu nggak ada orang yang mau menerima.
Said Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati?
Bukan, mertuanya Ario Damar. Nah, ketika Ario Damar yang mengajak kepada orang-orang yang menganut Budha, baru mereka berkenan mengikuti Islam.
Strateginya bagaimana? Seperti Walisongo juga?
Iya.
Pendekatan budaya juga?
Iya. Begini, semua orang nggak mau ketika yang menyebarkan Islam itu Syarif Hidayatullah. Kenapa? Palembang itu pusatnya Sriwijaya beratus-ratus tahun. Di situ Budha. Bagaimana caranya bisa Islam? Baru bisa setelah Ario Damar yang menganut Shwa Budha itu memeluk Islam dan mengajak orang. Tetap dengan pendekatan kultural. Apa dengan mengajarkan ilmu, pertanian, kesenia. Banyak. Ario Damar itu kan raja muda di sana. Mesti lewat budaya, macam-macam.
Di daerah lain juga mesti yang diterima itu dengan pendekatan budaya? Sulawesi, Kalimantan juga?
Iya. Contohnya di Jawa. Sunan Ampel itu datang dari Campa, Vietnam. Dia nggak begitu paham budaya Jawa. Menikah dengan orang Jawa, melahirkan anak: Sunan Bonang, misalnya. Dia dididik sebagai keluarga bangsawan Jawa. Dari keluarga ibunya kan. Karena itu dia bisa menulis tembang macam-macam. Sunan Ampel nggak bisa. Nggak ada warisannya karena memang bukan orang Jawa.
Jadi, orang pribumi yang berkreasi?
Iya. Orang pribumi.
Mas, Kelebihan buku ini, menurut mas Agus sendiri dibanding dengan buku-buku lain yang menulis Walisongo.
Buku-buku Walisongo itu kan ditulis dalam bentuk dongeng, cerita-cerita, legenda. Nah, saya masukkan inskripsi-inskripsi yang ada di makam-makam, misalnya makam Malik Ibrahim, ada. Atau prasatinya. Kapan tokoh itu, siapa tokoh itu? Bukan berdasarkan dongeng.
Setiap makam itu ada inskripsinya ya?
Nggak. Nggak setiap makam ada. Tapi beberapa makam ada inskripsinya.
Itu kan ensiklopedi yang terbit tahun 1995, kenapa baru direspon sekarang?
Karena ngak tahu. Belum pernah baca itu. Baru tahun tahun 2010.
Bagaiamana ketemunya Van Hoeve sama Wahabi? Persinggungannya itu?
Mungkin aja Van Hoeve nggak paham. Karena dia cuma penerbit. Orang-orang yang menulisnya. (Agus Sunyoto menyebutkan para penulisnya)
—-
diambil dari nu.or.id
Sabtu, 21 April 2012
Pembentukan Kab. Indragiri Selatan maju selangkah
Gubri Setuju Pemekaran Inhil Selatan - Riaupos.co
Pembentukan Indragiri Selatan (Insel) sebagai daerah otonom baru mengalami kemajuan satu langkah setelah disetujuinya rekomendasi pemekaran oleh Gubernur Riau. Meskipun demikian jalan yang akan dilalui masih cukup panjang dan terjal karena setelah ini proses di legislatif juga akan memakan waktu yang lama dan mungkin sedikit berbelit-belit (kebiasaan proses di badan legislatif). Belum lagi saat perjuangan selanjutnya di Jakarta juga akan menguras energi baik tenaga maupun (biasanya) dana yang tak sedikit. Tapi, kita harus tetap optimis dan terus berjuang.
di poskan oleh A. Rahman Masiga (Ketua II DPPK Insel)
Pembentukan Indragiri Selatan (Insel) sebagai daerah otonom baru mengalami kemajuan satu langkah setelah disetujuinya rekomendasi pemekaran oleh Gubernur Riau. Meskipun demikian jalan yang akan dilalui masih cukup panjang dan terjal karena setelah ini proses di legislatif juga akan memakan waktu yang lama dan mungkin sedikit berbelit-belit (kebiasaan proses di badan legislatif). Belum lagi saat perjuangan selanjutnya di Jakarta juga akan menguras energi baik tenaga maupun (biasanya) dana yang tak sedikit. Tapi, kita harus tetap optimis dan terus berjuang.
di poskan oleh A. Rahman Masiga (Ketua II DPPK Insel)
Langganan:
Postingan (Atom)