Minggu, 22 April 2012

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: Benarkah Untuk Mencerdaskan

Penulis: Ade Fadli
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya telah menjadi momentum untuk memperingatkan segenap negeri akan pentingnya arti pendidikan bagi anak negeri yang sangat kaya ini. Di tahun 2003, telah dilahirkan pula Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional melalui UU No. 20 tahun 2003 yang menggantikan UU No. 2 tahun 1989. Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak dianggap penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 8 UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses pembentukan komite sekolahpun belum keseluruhannya dilakukan dengan proses yang terbuka dan partisipatif.
Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD hingga saat ini masih dibawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar diantara 2-5%.
Bila melihat peristiwa yang belum lama terjadi di Indonesia, misalnya kasus tukar guling SMP Negeri 56 Jakarta serta kasus Kampar adalah sebongkah cerminan dari kondisi pendidikan di Indonesia, dimana kalangan pendidik dan kepentingan pendidikan masihlah sangat jauh dari sebuah kepentingan dan kebutuhan bersama, dimana pendidikan masih menjadi korban dari penguasa.
Sementara di berbagai daerah, pendidikan pun masih berada dalam kondisi keprihatinan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah, anak-anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin sukarnya akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.
Belum lagi bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia.
Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini.
Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Hari Pendidikan Nasional tahun ini di tengah-tengah pertarungan politik Indonesia sudah selayaknya menjadi sebuah tonggak bagi bangkitnya bangsa Indonesia dari keterpurukan serta lepasnya Indonesia dari ?penjajahan?? bangsa asing. Sudah saatnya Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dengan sebuah kesejahteraan sejati bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sumber: http://www.timpakul.web.id

Usaha Sistematis untuk Mendistorsi Sejarah

Agus Sunyoto: Ada Usaha Sistematis Untuk Menghilangkkan Walisongo

Perjuangan Walisongo merupakan fakta sejarah dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya pulau Jawa. Keberhasilannya yang gemilang tak lepas dari strategi mereka melalui jalur kultural. Tak ada pertumpahan darah dan inkuisisi.
Karena itulah perjuangannya selalu dikenang. Makamnya selalu diziarahi oleh segenap muslim. Tapi perjuangan sembilan ulama tersebut, dianggap sepi oleh sekelompok orang. Hal itu terbukti dengan absennya Walisongo dari Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Agus Sunyoto sebagai salah seorang sejarawan Nusantara merasa kuatir dengan kondisi ini. Menurutnya, lambat-laun sejarah Walisongo bisa hilang dari ingatan orang, atau bisa jadi dianggap dongeng belaka.
Kekuatiran Wakil Ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi-NU) ini membuahkan buku berjudul “Walisongo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan” setebal 282 halaman.
Ketika Agus Sunyoto berkunjung ke kantor PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Rabu, (15/2) Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarainya seputar penulisan buku itu. Berikut petikannya.
Belum lama ini mas Agus menulis buku Wali Songo, Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Apa tujuan menulis buku itu?
Awalnya ketika saya membaca buku Ensiklopedi Islam terbitan Van Hoeve itu. Ternyata entri Walisongo tidak ada. Demak itu hanya disinggung dua. Kesultanan Demak dan masjid Demak. Itu pun singkat sekali. Yang muncul malah tiga serangkai Wahabi yang membawa faham Wahabi ke Indonesia. Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piabang sebagai pembawa ajaran Islam.
Reputasi orang itu dalam sejarah perjuangan menyebarkan Islam itu bagaimana?
Yang menimbulkan pecahnya Perang Paderi. Reputasi apa? Orang yang berbeda pandangan dipateni (dibunuh, red).
Kalau kita baca Ensiklopedi Islam itu, secara tidak langsung, kita diarahkan untuk menganggap bahwa Islam yang disebarkan Nusantara itu oleh Wahabi. Begitu, ya?
Iya. Dan itu yang dimasukkan. Itu kan golongan Sumatera Tawalib. Orang sana itu, madrasah-madrasah Wahabi itu, Persis itu masuk, al-Irsyad itu masuk. Resulusi Jihad itu nggak ada. Komite Hijaznya NU itu nggak ada.
Efeknya bagi masyarakat itu apa, Pak?
Ya lambat-laun Walisongo dianggap nggak pernah ada. Islam yang ada sekarang itu dianggap ahistori.
Indikasi apa itu mas?
Kita tinggal menunggu dua puluh tahun lagi. Kalau Walisongo itu sudah tidak ditulis di ensiklopedi, dua puluh tahun lagi, sudah jelas dianggap dongeng. Tidak ada kenyataannya. Tidak diakui. Eksistensinya tidak diakui.
Itu memang sistematis?
Iya sistematis. Ada usaha sistematis untuk menghilangkkan Walisongo.
Tujuan mereka itu apa?
Ya, mereka kan menganggap Walisongo itu tidak sefaham dengan mereka dan mereka membikin seolah-olah yang membawa (Islam) ke sini adalah Wahabi. Tapi itu artinya Islam baru berkembang 1803. Sebelum itu, nggak ada Islam berarti. Itu pemalsuan sejarah. Pemalsuan sejarah yang tidak cerdas!
Apa karena tipikal Walisongo yang menyebarkan Islam melalui pendekatan budaya? Dan itu bersebrangan dengan faham mereka?
Iya. Mereka kan kalau perlu, semua yang bersebrangan faham dengan mereka kan dibunuh saja. Bahwa faham merekalah yang benar. Karena mereka menghalalkan segala cara. Kalau bukan golongan mereka, ya disingkirkan. Sayangnya mereka minoritas.
Dalam sejarah, Islam yang diterima di masyarakat itu selalu pendekatan budaya. Tidak cuma Walisongo. Di Sumatera ada tokoh Aria Damar. Dia kan asalnya penganut Shiwa Budha. Dakwah Islam di Palembang dan sekitarnya itu, ketika yang dakwah itu orang yang dari Arab Said Syarif Hidayatullah itu, itu nggak ada orang yang mau menerima.
Said Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati?
Bukan, mertuanya Ario Damar. Nah, ketika Ario Damar yang mengajak kepada orang-orang yang menganut Budha, baru mereka berkenan mengikuti Islam.
Strateginya bagaimana? Seperti Walisongo juga?
Iya.
Pendekatan budaya juga?
Iya. Begini, semua orang nggak mau ketika yang menyebarkan Islam itu Syarif Hidayatullah. Kenapa? Palembang itu pusatnya Sriwijaya beratus-ratus tahun. Di situ Budha. Bagaimana caranya bisa Islam? Baru bisa setelah Ario Damar yang menganut Shwa Budha itu memeluk Islam dan mengajak orang. Tetap dengan pendekatan kultural. Apa dengan mengajarkan ilmu, pertanian, kesenia. Banyak. Ario Damar itu kan raja muda di sana. Mesti lewat budaya, macam-macam.
Di daerah lain juga mesti yang diterima itu dengan pendekatan budaya? Sulawesi, Kalimantan juga?
Iya. Contohnya di Jawa. Sunan Ampel itu datang dari Campa, Vietnam. Dia nggak begitu paham budaya Jawa. Menikah dengan orang Jawa, melahirkan anak: Sunan Bonang, misalnya. Dia dididik sebagai keluarga bangsawan Jawa. Dari keluarga ibunya kan. Karena itu dia bisa menulis tembang macam-macam. Sunan Ampel nggak bisa. Nggak ada warisannya karena memang bukan orang Jawa.
Jadi, orang pribumi yang berkreasi?
Iya. Orang pribumi.
Mas, Kelebihan buku ini, menurut mas Agus sendiri dibanding dengan buku-buku lain yang menulis Walisongo.
Buku-buku Walisongo itu kan ditulis dalam bentuk dongeng, cerita-cerita, legenda. Nah, saya masukkan inskripsi-inskripsi yang ada di makam-makam, misalnya makam Malik Ibrahim, ada. Atau prasatinya. Kapan tokoh itu, siapa tokoh itu? Bukan berdasarkan dongeng.
Setiap makam itu ada inskripsinya ya?
Nggak. Nggak setiap makam ada. Tapi beberapa makam ada inskripsinya.
Itu kan ensiklopedi yang terbit tahun 1995, kenapa baru direspon sekarang?
Karena ngak tahu. Belum pernah baca itu. Baru tahun tahun 2010.
Bagaiamana ketemunya Van Hoeve sama Wahabi? Persinggungannya itu?
Mungkin aja Van Hoeve nggak paham. Karena dia cuma penerbit. Orang-orang yang menulisnya. (Agus Sunyoto menyebutkan para penulisnya)
—-
diambil dari nu.or.id

Sabtu, 21 April 2012

Pembentukan Kab. Indragiri Selatan maju selangkah

Gubri Setuju Pemekaran Inhil Selatan - Riaupos.co
Pembentukan Indragiri Selatan (Insel) sebagai daerah otonom baru mengalami kemajuan satu langkah setelah disetujuinya rekomendasi pemekaran oleh Gubernur Riau. Meskipun demikian jalan yang akan dilalui masih cukup panjang dan terjal karena setelah ini proses di legislatif juga akan memakan waktu yang lama dan mungkin sedikit berbelit-belit (kebiasaan proses di badan legislatif). Belum lagi saat perjuangan selanjutnya di Jakarta juga akan menguras energi baik tenaga maupun (biasanya) dana yang tak sedikit. Tapi, kita harus tetap optimis dan terus berjuang.
di poskan oleh A. Rahman Masiga (Ketua II DPPK Insel)