Era otonomi daerah diterjemahkan sebagai era kebebasan mengatur semua
potensi sumber daya yang dimiliki daerah, sehingga sistem pemerintahan
terkesan mengarah kepada sistem dinasti kekuasaan.
Siapa yang
berkuasa, maka ia akan mengatur kekuasaan, baik itu gubernur, bupati dan
wali kota, sampai dengan pejabat di bawahnya. Saking enaknya menjadi
pejabat yang berkuasa, maka kalaulah diperbolehkan undang-undang
seseorang akan berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya seumur hidup.
Siapa yang tidak tergiur menjadi pejabat public mengingat
semua fasilitas hidupnya telah dijamin oleh negara. Mulai dari urusan
kamar mandi, urusan dinas sampai dengan urusan kebahagiaan pribadi pun
ikut diurus oleh negara.
Ia dihormati, disegani, bahkan
dimanjakan oleh masyarakat dan juga pegawainya. Ia pun akan menikmati
fasilitas yang sangat mewah dan kemegahan hidup luar biasa, di samping
itu pendapatan lain dari kue APBD pun bakalan melimpah.
Belum
lagi adanya program studi banding dan perjalanan dinas keliling
Indonesia atau bahkan keliling dunia, sambil rekreasi membawa keluarga.
Menguji Kualitas Pemimpin
Setelah
sekian kali pemerintah menggelar proses pemilihan kepala daerah dan
wakil rakyat secara langsung, tentunya masyarakat bisa menilai kualitas
pemimpin yang terlahir dari proses Pemilukada.
Fakta yang
teramati pada awal masa kepemimpinannya sangat menggebu-gebu, namun
sayang idenya tidak mampu diimplementasikan dalam wujud karya nyata.
Sang pemimpin terlena dengan impian belaka, sehingga apa yang
dikampanyekan pada penyampaian visi dan misi hanya berupa wacana tanpa
adanya langkah eksekusi yang pasti.
Mereka hanya berputar-putar
atau pun berjalan tertatih-tatih dalam melakukan eksekusi, karena
mendapatkan hambatan internal yang luar biasa beratnya terutama terkait
dengan imbal jasa terhadap tim sukses.
Mereka punya mimpi, namun
sayang mimpinya hanyalah bersifat abstraktif dan tidak memiliki bentuk
yang bisa divisualisasikan. Bahkan ada pemimpin yang tidak memiliki
energi positif untuk mengejar mimpinya setelah ia duduk di kursi emas
singgasana kekuasaan.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
bilamana ada sejumlah pemimpin hasil dari proses Pemilukada ternyata
kualitas kepemimpinannya dipertanyakan banyak kalangan. Hal ini terjadi
karena beberapa hal berikut.
Pertama, pemimpin sedari awal tidak
mempunyai niat untuk melakukan pengabdian pada negeri ini. Yang ia
targetkan bagaimana ia bisa duduk sebagai pemimpin, meskipun ia harus
berjuang dengan segala pengorbanan demi meraih cita-cita.
Setelah
ia terpilih duduk menjadi pejabat maka dengan segala cara berusaha
untuk mengembalikan modal awal plus keuntungan yang sangat besar. Ia
tidak tertantang dengan tugas kepemimpinan yang sebenarnya.
Kedua,
sang pemimpin penuh keraguan dan kegamangan dalam mengambil keputusan
strategis. Semua serba lamban dan lambat sehingga berdampak pada
rendahnya kinerja pemerintah. Kondisi tersebut terjadi karena terlalu
banyak bisikan dari orang-orang dekat yang merasa berjasa untuk meminta
imbal beli kekuasaan.
Ia tidak berani mengambil keputusan
strategis berdasar pemikiran logis dirinya, ia selalu khawatir dengan
keputusan yang diambilnya tidak mendapat dukungan dari tim yang telah
mendukungnya.
Ketiga, sang pemimpin salah merekrut pejabat yang
akan membantu dalam pekerjaannya. Banyak pemimpin yang mengalami
kegagalan disebabkan oleh ulah anak buahnya yang tidak bekerja optimal
dan kurang kompeten.
Banyak anggota tim yang telah berjasa
diangkat sebagai pejabat , namun ternyata ia hanya mengandalkan pada
surat keputusan (SK) yang menjadi haknya untuk memimpin, tanpa
didasarkan pada upaya meningkatkan kredibilitas dan prestasi kerja yang
handal dan profesional.
Hasilnya dengan berbekal SK itulah
banyak pemimpin yang menyalahgunakan wewenangnya dan berujung pada
persoalan hukum. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang sanggup menderita
demi untuk memakmurkan rakyatnya.
Keempat, sang pemimpin
memiliki kelemahan dalam mengenali dan melakukan koreksi sedini mungkin
terhadap kesalahan-kesalahan yang ada di sekitarnya, termasuk koreksi
kesalahan yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri.
Sang pemimpin
tidak mampu memahami isu-isu penting dalam kompleksitas situasi yang ada
sesuai dinamikia perkembangan masyarakat yang sangat dinamis.
Kelima,
pemimpin tidak fokus dan kurang mampu memimpin secara kolektif
terhadap seluruh jajaran tim manajemen. Sehingga setiap hari kebanjiran
permasalahan yang terus bertumpuk tanpa ada penyelesaian yang tuntas.
Pemimpin
tidak menyenangi implementasi dan jarang melakukan evaluasi dan tidak
mendorong anak buah mendapatkan inspirasi. Lebih celaka lagi, sang
pemimpin cepat puas dengan setiap jawaban awal yang disampaikan anak
buahnya tanpa menyadari bahwa jawaban awal anak buah sekadar jawaban
asal-asalan.
Keenam, sang pemimpin sendiri enggan membangun
sebuah sistem yang kondusif yang bisa mendorong orang di seputarnya
untuk bisa memberikan kontribusi terbaiknya. Sang pemimpin sering
dihadapkan dengan persoalan politis, sehingga cenderung menjalankan
praktik-praktik diskriminasi yang tidak profesional.
Yang
dipikirkan oleh mereka adalah bagaimana ia bisa mempertahankan tahta
kekuasaannya, bukan bagaimana membangun negeri ini menjadi lebih maju
dan berkembang pesat.
Ketujuh, sang pemimpin memiliki agenda
pribadi yang tersembunyi sehingga secara intelektual kurang jujur dalam
menjalankan wewenang kepemimpinannya. Agenda pribadi sering bertabrakan
dengan nilai-nilai idealisme, sehingga melahirkan keputusan yang
kontroversial.
Menemani Pemimpin
Kepemimpinan adalah amanah
yang diberikan Tuhan yang nantinya harus di pertanggungjawabkan, karena
itu siapapun Anda, di manapun Anda berada, dan apapun jabatan Anda,
kiranya harus menyadari tentang prinsip kepemimpinan.
Kepemimpinan
bukan semata-mata persoalan memimpin negara atau partai politik.
Memimpin diri sendiri adalah persyaratan sebelum kita dapat memimpin
orang lain. Pisahkan kepemimpinan dari segala yang ada di luar kita,
pangkat, jabatan, kedudukan, dan sebagainya.
Kepemimpinan adalah
sikap, tindakan, dan perilaku , kebiasaan dan karakter itu sendiri.
Proses untuk menjadi seorang pemimpin sejati tidaklah mudah dan
memerlukan waktu yang relatif lama. Anda harus menjalani dari hari ke
hari, menumbuhkan kebiasan yang baik dan mengembangkannya hingga menjadi
karakter.
Untuk itu tidak ada cara yang cepat, karier dalam
kepemimpinan tidak dapat dikarbit, tetapi harus dijalani tahap demi
tahap. Pemimpin yang dikarbit adalah pemimpin yang semu, ia tidak
langgeng. Kejatuhannya hanyalah menunggu waktu.
Anehnya
manajemen karir pada struktur birokrasi pemerintah era otonomi daerah
tampaknya tidak terpola secara baik, sehingga siapa saja dan kapan saja
bisa meraih posisi jabatan yang diinginkan.
Pola karir, jalur
karir, perencanaan karir dan manajemen karir sudah ditinggalkan, dan
kini digantikan model pengembangan karir melalui sistem Pemilukada.
Model ini memberikan peluang kepada siapa saja yang berminat untuk
menjadi pejabat, asalkan memahami bagaimana cara cerdas bisa ikut
menemani sang pemimpin.
Kita bisa melihat betapa sibuknya para
pejabat atau orang-orang yang ingin mengejar jabatan menemani pemimpin
ke mana pun pemimpin pergi. Ada maksud tertentu di balik menemani sang
pemimpin besarnya.
Saking banyaknya orang yang menemaninya
akhirnya sang pemimpin mengalami kebingungan tentang apa yang seharusnya
dilakukan, sehingga kerja sang pemimpin hanya berkutat pada
aktivitas-aktivitas yang berbau seremonial kepemimpinan.
Sang
pemimpin lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang yang
“disenangi”, walaupun orang-orang tersebut tidak menunjukkan kontribusi
apa pun selain setia “menemani” ke mana pun sang pemimpin pergi.
Pemimpin
seperti ini hanya melakukan aktivitas rutin tanpa makna sama sekali.
Ironisnya lagi konon kabarnya penyusunan kabinet yang akan ditempatkan
pada berbagai posisi didiskusikan terlebih dahulu secara matang dengan
teman-teman yang setia menemani.
Pertanyaannya, apakah
kepemimpinan seperti dapat dipertanggungjawabkan? Sebenarnya yang kita
cari adalah pemimpin yang memiliki karakter, memiliki komitmen, mampu
bekerja sama dengan tim, mempunyai kompetensi dan ia memegang teguh
konsistensi.
Pertanyaannya, apakah para pemimpin yang saat ini duduk di singgasana kekuasaan memenuhi kriteria tersebut?***
Artikel ini awalnya merupakan tulisan Machasin, Dosen Program Magister Manajemen FE Unri.